Ini Karyaku

Minggu, 26 Desember 2010

Hanya Wanita

Hari-hari belakangan ini terasa gelap buat Sisca, ibu dua anak yang baru saja disentak kekecewaan yang amat dalam, setelah promosi kenaikan jabatannya tertunda. “Percuma saja aku kerja mati-matian melebihi siapapun di kantorku, sia-sia saja aku tidur larut untuk menuntaskan pekerjaan di rumah, kasihan anak-anak karena sepanjang akhir pekan aku sibuk membenahi pekerjaanku. Nyatanya, jalanku tetap dihambat!” keluh Sisca.
Tak pelak lagi. Jiwa wanita pekerja keras ini belakangan mulai diguncang emosi. Suami dan anak-anaknya menangkap gejala menyedihkan. Sisca kadang murung, lantas bisa marah tak terkendali. Malam hari ia menangis sesenggukan di dada sang suami.


Bukan cuma Sisca. Siapapun di dunia ini pasti pernah merasakan ‘guncangan’ emosi yang membuat jiwa meronta, terpuruk, bahkan melayang. Riana, gadis manis mahasiswi ekonomi tingkat tiga, minggu lalu dibuat jatuh terpuruk setelah putus dari pacarnya. Lina, sekretaris cantik berusia 23 tahun, dibuat mengharu biru, lantaran ibunya yang sudah lama tak bertegur sapa dengannya memberikan seikat bunga di hari ulang tahunnya. Sementara Hesti, sarjana hukum yang belum mendapat pekerjaan serasa mendapat durian runtuh ketika Hendra, sarjana lulusan luar negeri yang sudah lama diincarnya tiba-tiba menawarkan diri datang ke rumah.
Hidup adalah cerita yang tak pernah berhenti. Anda tak bisa mendapat tempat, dimana ‘cuaca’ hidup terus menerus sama. Keadaan statis tak mungkin mewarnai jiwa, karena hidup sarat dengan angin yang damai, badai, hujan atau sengatan matahari. Inilah yang penting dipahami, jiwa kita tak pernah terus menerus dalam kondisi stabil dan tenang. Suatu saat, karena hal apapun, bisa saja tiba-tiba emosi datang mengguncang!
Itukah saat-saat terburuk? Jangan dulu menyalahkan emosi. Penelitian yang dilakukan pakar psikologi di Amerika membuktikan, goncangan emosi pada kebanyakan orang justru menjadi semacam warming up pada apa yang dinamakan dengan pembaruan hidup. Orang yang dicekam rasa takut, menjadi survive karena tak mau takut lagi. Orang yang dibuat haru menjadi sangat arif karena ia mengerti indahnya dibahagiakan. Orang yang terpuruk lantaran disepelekan, menjadi kuat karena ia merasa perlu bertahan. Orang yang baru ditinggalkan melahirkan kembali semangat hidup untuk bisa bangkit.
Psikolog ternama, Jeanne Seagal, Ph.D. mengatakan dalam bukunya yang berjudul Raising Your Emotional Intelligence, bahwa emosi jika dikelola dengan baik, memiliki sisi positif, yakni menjadi pemicu sifat-sifat yang menguntungkan. “Rasa takut, senang, cemas, sedih, marah, kesal merupakan semacam olahraga jiwa,” kata Jeanne.
Bagaimana mengelolanya? Face the fact ! Itu jawaban mutlak. Seperti halnya rasa sakit, maka yang namanya emosi hendaknya dipahami dan diperhatikan, bukan diabaikan. Dalam pengalamannya menghadapi banyak pasien, Jeanne menemukan bahwa orang-orang yang menyadari dan memperhatikan gejolak emosi di dirinya cenderung menunjukan usaha yang positif untuk menemukan solusi, ketimbang orang yang lari dari kenyataan dan berharap emosi hilang dengan instan.
“Seluruh jenis emosi itu bagus. Punya sifat informatif dan konstruktif,” ujar Jeanne. “Emosi mampu menjadi peringatan untuk bangkit dan memberikan sinyal untuk mengubah sesuatu dalam hidup,” lanjutnya lagi.
Jika Anda kini tengah tenggelam dalam tangis yang tak berkesudahan gara-gara sebuah persoalan yang ‘mengocok’ emosi Anda, buanglah dulu semua tangis Anda. Setelah itu? Renungkanlah, bahwa emosi yang kini sedang menguasai Anda membawa pesan yang tak terkatakan, yakni….lakukan sesuatu agar keadaan lebih baik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar